Ukhwah BerMuhammadiyah: Muhammadiyah menghendaki warganya punya wajah puritan dan wajah tajdid atau modernis dalam satu tampilan. Ini yang keren.
Ukhwah BerMuhammadiyah?
Isi Artikel
Sejak awal berdiri Persyarikatan ini memang mengandung dialektik paradigmatik—antara purifikasi dan pikiran maju. Ahmad Jainuri (2002) memilah keduanya: purifikasi pada hal-hal yang tak bisa diubah yaitu ajaran ibadah yang bersifat mahdhoh sementara pikiran maju ditujukan untuk-hal hal yang bersifat mu’amalah (ghairu mahdhah).
Majelis Tarjih tempat menghimpun segala perbedaan dan konflik pemikiran
Dialektik paradigmatik ini kerap melahirkan banyak perbedaan cara pandang, tapi Muhammadiyah punya cara jitu untuk meredam berbagai konflik pemikiran ini, pertama dikonstruksi dalam bentuk lembaga, Majelis Tarjih tempat menghimpun segala perbedaan dan konflik pemikiran. Kedua membangun sistem kolektif kolegial dalam hal kepemimpinan untuk meminimalisir persaingan antar tokoh dan pimpinan.
Dua cara ini, ampuh untuk meminimalisasi konflik ketokohan, maka jangan harap ada tokoh populair yang ‘dikultuskan’ atau di ‘herokan’ di Muhammadiyah, sebab sistem yang dibangun menghendaki serba kolegial dalam kebersamaan. Sangat terbuka, demokratis dan egalitar, sehingga tak ada lagi klasifikasi ulama, pimpinan dan umat, semua tergabung dalam satu kata: ‘pengurus’ sebuah konsekwensi logis baik positif maupun negatif. ber-Muhammadiyah itu memangkas ego dan menenggelamkan diri dalam kebersamaan untuk menyatu dalam gerak.
Menjaga Persaudaraan Itu Penting
Dalam suasana kebatinan semacam itu maka menjaga persaudaraan itu penting. Menjaga perasaan itu harus. Sebab ini rumah besar. Meski menabalkan diri sebagai gerakan keagamaan yang berlandaskan al Quran dan as Sunah bukan jaminan tak ada konflik dan persaingan bahkan kompetisi—bukankah salah satu jargon kita adalah bersaing atau berlomba-lomba dalam mengerjakan kebaikan.
Bisa saja dalam perlombaan berbuat kebajikan itu ada perbedaan cara pandang, perbedaan teknis, bahkan perbedaan strategi yang melahirkan kerenggangan sedikit, salah paham sedikit atau nggrundel sedikit.
Persinggungan ini bukan hal baru di Muhammadiyah tak jarang terjadi diskusi keras debat panjang dan panjang pula rampungnya. Dari soal teknis kecil di tingkat ranting tentang warna cat buat tembok di masjid, warna karpet hingga soal-soal besar di tingkat nasional, perbedaan pilihan politik dan warna ideologis lainnya. Prof Nakamura dan Prof Mukti Ali (1998) menyebut bahwa kompetisi di tubuh Persyarikatan ini sebenarnya sangat keras di dalam, meski terlihat lembut di permukaan.
MUHAMMADIYAH adalah federasi pemikiran
Perbedaan-perbedaan macam begini sangat lazim karena tempat berkumpul orang banyak, dengan ragam status sosial dan niat. Prof Din Syamsudin (2018) menyebut bahwa MUHAMMADIYAH adalah federasi pemikiran, federasi gagasan—Perserikatan ide—Perserikatan pemikiran—dan cita-cita, menunjukkan bahwa di warga Muhammadiyah sebenarnnya tidak homogen tapi plural—Multikultur, kaya ragam dengan perbedaan. Keniscayaan yang tidak dibantah.
Membangun Ukhwah Islamiyah, Ukhwah Wathaniyah dan Ukhwah Bashariyah menjadi keharusan, saya tambahi satu: Ukhwah berMuhammadiyah tidak tau mana duluan. Ukhwah ber-Muhamadiyah menjadi sangat urgen sebagai pusat episentrum dalam lomba berbuat baik, sebab kondisi Persyarikatan mengalami perubahan sangat signifikan terutama dalam hal niat dan komitmen.
Ihsan sebagai penopang ukhwah Muhammadiyah memiliki makna : Ihsan—yaitu bersungguh-sungguh dan menyempurnakan dalam ber-Muhammadiyah. Ber-Muhammadiyah adalah ber-Islam itu sendiri tanpa terkurangi. Ihsan adalah ikhtiar agar apa yang diupayakan ditujukan untuk mencapai ridha Allah dan Rasul-Nya. Itulah Ihsan dalam ber-Muhammadiyah.
Discussion about this post