news.schmu.id, Jakarta: Mengkritisi Kompetensi Guru Indonesia – 25 November diperingati sebagai Hari Guru. Guru adalah elemen penting dalam pendidikan. Bagaimana bangsa Indonesia kelak tergantung pada kualitas guru.
Mengingat pentingnya peran dan tanggung jawab guru, UU No. 14/2005 tentang Guru dan Dosen menyebutkan guru sebagai agen pembelajaran yang seharusnya menjadi fasilitator, motivator, driver, insinyur pembelajaran, dan inspirasi belajar bagi peserta didik.
Mengkritisi Kompetensi Guru Pendidikan
Isi Artikel

Konsekuensi logisnya, anggaran pendidikan tahun 2017 mengalokasikan 20% dari total APBN. Nilainya mencapai Rp 419 triliun. Meski terbilang ironis, karena sebagian besar anggaran pendidikan digunakan untuk gaji dan tunjangan guru. Oleh karena itu, wajar jika tingkat rata-rata pendapatan guru menjadi tiga kali lipat. Sedangkan alokasi untuk pembangunan dan renovasi sekolah masih sangat kecil.
Ironisnya, data UNESCO dalam Global Education Monitoring (GEM) Report 2016 menunjukkan bahwa pendidikan di Indonesia hanya menempati urutan ke-10 dari 14 negara berkembang. Sedangkan komponen penting dalam pendidikan adalah guru menempati urutan ke-14 dari 14 negara berkembang di dunia.
Kualitas pendidikan di Indonesia masih jauh dari memadai. Besarnya anggaran pendidikan tidak serta-merta membuat kualitas pendidikan meningkat. Mengapa? Pasalnya, kualitas guru masih bermasalah.
Suka tidak suka, hasil Uji Kompetensi Guru (UKG) 2015, rata-rata nasional hanya 44,5 – jauh di bawah nilai standar 75. Bahkan kompetensi pedagodik yang menjadi kompetensi utama guru belum memuaskan. Masih banyak guru yang metode pengajarannya kurang baik, metode pengajaran di kelas yang membosankan. Inilah momentum yang tepat untuk mengkritisi soal kompetensi guru.
Kompetensi Guru
Harus disepakati, masalah rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia tentu tidak bisa dijawab dengan mengubah kurikulum. Atau, malah menggantikan menteri atau direktur jenderal. Kualitas pendidikan hanya bisa dijawab oleh kualitas guru. Guru yang profesional dan berkualitas adalah jaminannya. Tanpa peningkatan kualitas kompetensi guru, kualitas pendidikan akan tetap “jauh dari api”, tidak akan cukup.
Bayangkan saja, dari 3,9 juta guru saat ini, masih ada 25% guru yang tidak memenuhi persyaratan kualifikasi akademik, dan 52% guru belum memiliki sertifikat profesi. Di sisi lain, seorang guru dalam menjalankan tugasnya harus memiliki standar kompetensi yang meliputi kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial, dan profesional.
Kita ingat, pelaksanaan sekolah lima hari menimbulkan kontroversi. Bahkan implementasi Kurikulum 2013 yang “terpaksa” dibatalkan karena guru kurang paham. Banyak guru yang kebingungan sehingga pembelajaran tidak berjalan maksimal.
Oleh karena itu, upaya peningkatan kompetensi guru sebagai pelaksana kurikulum di kelas menjadi sangat penting. Karena sebaik apapun kurikulum yang ada, tidak akan berjalan dengan baik tanpa dukungan guru yang berkualitas.
Pertanyaan tentang guru tidaklah sederhana. Meski tidak menyatakannya terlalu rumit. Dalam pembahasan kompetensi guru prinsip dasarnya adalah memetakan faktor-faktor penyebab rendahnya kompetensi guru. Dalam konteks ini, setidaknya ada empat kemungkinan penyebab rendahnya kompetensi guru.
Bukan Bidang Studinya
Pertama, ketidakcocokan disiplin ilmu dengan bidang pengajaran. Masih banyak guru di sekolah yang mengajarkan mata pelajaran yang bukan bidang studi yang mereka teliti. Hal ini disebabkan kurangnya tenaga pengajar pada bidang studi tertentu.
Kedua, kualifikasi guru yang tidak setara dengan sarjana. Akibatnya standar pengetahuan yang dimiliki guru menjadi kurang memadai untuk mengajar bidang studi yang menjadi tugasnya. Faktanya tidak sedikit yang merupakan guru sarjana, namun mereka tidak memiliki gelar sarjana di bidang pendidikan sehingga mereka “bermasalah” di bidang pedagogik.
Ketiga, program pengembangan profesi low profile (PKB) guru. Masih banyak guru yang “tidak mau” mengembangkan diri untuk menambah pengetahuan dan kompetensinya dalam mengajar. Guru tidak mau menulis, tidak membuat publikasi ilmiah, atau tidak inovatif dalam kegiatan pembelajaran. Guru merasa cukup untuk mengajar.
Keempat, rekrutmen guru yang tidak efektif. Karena masih banyak calon guru yang direkrut tidak melalui mekanisme profesional, tidak mengikuti sistem rekrutmen yang disyaratkan. Kondisi ini membuat kompetensi guru semakin rendah.
Kualitas Pendidikan
Padahal, pada 2016, kualitas pendidikan di Indonesia berada di peringkat 62 dari 69 negara. Ini adalah cermin konkrit dari kualitas dan kuantitas guru di Indonesia. Sehingga harus ada langkah serius untuk meningkatkan kualitas guru.
Nyatanya, tidak sedikit guru saat ini yang masih menjalankan proses belajar mengajar dengan pola “top down”. Guru seolah berada “di atas” dan siswa “di bawah”, guru bertindak sebagai mata pelajaran dan siswa sebagai objek pembelajaran.
Guru merasa diberdayakan untuk “membentuk” siswanya. Misalnya guru menjadi “teko” dan siswa menjadi “gelas” sehingga siswa yang berstatus hanya menerima nilai ap.
Baca juga: Kompetensi Guru Muhammadiyah
apun dituangkan oleh guru. Siswa tidak diajarkan untuk mengeksplorasi kemampuannya sendiri. Siswa hanya bisa disuruh tanpa diajari mengenal dirinya sendiri dan kemudian bisa bertahan hidup.
Belajar bukanlah proses menjadikan siswa “anggota” dari mata pelajaran tertentu. Siswa membutuhkan lebih banyak “pengalaman” dalam belajar, bukan “pengetahuan”. Oleh karena itu, kompetensi guru merupakan syarat utama untuk mencapai pembelajaran yang berkualitas.
Guru Kompeten
Guru yang kompeten akan “menghilangkan” masalah belajar karena kurikulum. Kompetensi guru hendaknya bertumpu pada kemampuan mengajarkan materi pelajaran secara menarik, inovatif, dan kreatif yang dapat membangkitkan semangat belajar siswa.
Oleh karena itu, saat ini sangat dibutuhkan guru yang mampu mentransformasikan kurikulum menjadi unit belajar yang mampu menembus ruang kelas. Ruang kelas sebagai ruang sentral untuk interaksi guru-siswa harus menyenangkan.
Guru tidak membutuhkan kurikulum yang membunuh kreativitas. Guru harus menjadi sosok non-dominan di kelas. Guru bukanlah orang yang tahu segalanya. Guru bukanlah pendidik berbasis jawaban. Namun, guru membimbing siswa untuk mengetahui mata pelajaran favoritnya.
Tujuan besar perubahan kurikulum tentu akan sia-sia bila pola pikir guru tidak berubah. Guru adalah pencipta dan tidak membutuhkan buku teks tentang kurikulum. Guru tidak bisa merasa nyaman dengan pembelajaran satu arah. Sekali lagi, kualitas pendidikan hanya bisa terjadi jika guru mengajar dengan hati, bukan hanya logika.
Jadi, kualitas pendidikan ada di tangan guru. Kurikulum memang penting, tapi tidak mendesak untuk kualitas pendidikan. Menteri besar mana pun tidak terlalu penting untuk kualitas pendidikan. Kasihan dunia pendidikan kita.
baca juga: 4 Standard Kompetensi Guru Berdasarkan Undang-Undang
Ada terlalu banyak diskusi tentang teori untuk memajukan pendidikan. Terlalu banyak perdebatan tentang implementasi kurikulum. Namun sayangnya, upaya yang dilakukan terlalu sedikit untuk meningkatkan kompetensi dan mentalitas guru dalam mendidik.
Ketahuilah bahwa guru akan sulit menerima perubahan jika kompetensi mereka rendah. Pendidikan akan semakin rumit ke depan jika kualitas guru kita memang lemah. Oleh karena itu kompetensi guru harus segera ditingkatkan, yang merupakan poin penting dalam kualitas pendidikan Indonesia.
Syarifudin Yunus Dosen PGRI Universitas Indraprasta dimuat laman news.detik.com
Discussion about this post