news.schmu.id, Hukum Suap Menyuap Dalam Islam — Dalam agama Islam segala persoalan selalu akan ada jawaban dan dasar hukumnya. Sebagai orang muslim kita tahu bahwa suap dan menyuap adalah Haram. Tapi kadang kita butuh penegasan dari orang yang memang memahami Ilmu fiqh dan Alqur’an.
Assalamu ‘alaikum w. w.
Pengasuh yang terhormat, saat ini ada laporan kasus korupsi dan pencucian uang di Indonesia. Kasusnya adalah:
Seseorang memberikan layanan dan dibayar tambahan sebagai tip yang cukup berharga
Seseorang menjual sesuatu dan itu dihargai dengan harga yang jauh lebih tinggi dari harga pasar
Pertanyaan saya adalah:
Bagaimana hukum di atas?
Bagaimana hukum di atas jika kemudian ternyata yang membayar adalah penyuapan / kriminal?
Hukum Suap Menyuap Dalam Islam

Wa ‘alaikumus-salam wa rahmatullahi wa barakatuh.
Terima kasih atas pertanyaan anda Menjawab hukum pada butir (a) perkara nomor 1 dalam hal memberi (atau apapun yang kita peroleh dengan cara yang halal), baik berupa uang, makanan, sandang, atau barang lainnya, yang tidak kita ketahui asal muasalnya bagaimana barang sudah didapat, lalu kita anggap saja halal.
Dalam kasus seperti ini, ini berlaku untuk ekspresi apa pun yang tidak kita ketahui detailnya, kita tidak perlu mempertanyakannya. Hal ini sesuai dengan firman Allah subhanahu wa ta’ala dalam surah al-Maidah ayat 101 yang artinya: “Hai kamu yang beriman, jangan menanyakan (kepada Nabi) hal-hal yang jika dijelaskan kepada kamu akan merepotkan kamu .. . ”
Artinya, jika menurut kita tampak sesuatu yang baik / halal, maka kita manfaatkan halal itu. Hal ini berlaku untuk jasa secara umum, kecuali sampai pada tingkat kecurigaan yaitu kami mempunyai kecurigaan yang kuat bahwa barang yang diberikan adalah haram.
Misalnya kita menerima hadiah dari orang yang suka berjudi, maka kita perlu mencari tahu asal barang yang diberikan. Selama kecurigaan kita belum hilang, kita tidak boleh menggunakan (apakah kita menggunakannya sendiri atau kita memberikannya kepada orang lain) hadiah ini. Atau kita ambil jalan pintas, yaitu mengembalikan barang tersebut ke pemberi.
Hampir sama dengan memberi yang lebih dekat dengan praktik suap, karena kita memiliki jabatan penting, misalnya yang sekarang populer dengan istilah gratifikasi. Karenanya kita perlu mencurigai si pemberi, jangan sampai ada udang di balik batu itu.
Kami harus mencari tahu, sampai kecurigaan kami hilang. Jika sudah mendekati kasus suap, maka kita tidak boleh menerima hadiah, atau opsi lain, laporkan ke pihak berwajib (polisi), jika dalam kasus memberi-memberi itu masuk ke dalam area kejahatan.
Sedangkan kasus nomor 2 yakni menjual sesuatu dihargai di atas harga pasar, maka sepanjang terpenuhi rukun dan syarat jual beli, seperti penjual dan pembeli cakap bertindak hukum, barang yang dijual adalah sesuatu yang halal, dimiliki oleh penjual, diketahui kualitas dan kuantitasnya, dapat diserahterimakan, kemudian ijab qabul, menunjukkan adanya kerelaan, pembelian dengan harga tinggi adalah kemauan pembeli, hukum jual beli ini adalah sah.
Tetapi jika terjadi dalam pasar pada umumnya, harus dicermati dampak dari pembelian harga tinggi terhadap barang yang dijual, khawatir akan mempengaruhi harga pasar, kecuali jika barang tersebut barang antik yang tidak semua penjual memilikinya.
Menjawab hukum butir (b), ternyata si pelaku terlibat kasus suap/kriminal. Dalam hal ini perlu memahami peta harta haram yang banyak tersebar di masyarakat kita. Secara umum, harta haram bisa dikelompokkan menjadi dua:
- Harta haram karena dzatnya, seperti khamr, babi, bangkai, anjing, darah, dan seterusnya.
- Harta haram karena cara mendapatkannya, meskipun dzatnya halal, seperti uang riba, barang curian, mobil korupsi, sapi suap, dan seterusnya.
Selanjutnya, untuk harta haram karena cara mendapatkannya, dibagi menjadi dua:
- Harta haram yang diambil secara suka rela, saling ridha, atau dengan izin pemilik pertama. Seperti upah wanita pezina, hasil judi, atau jual beli barang haram (misal: hasil menjual babi, khamr), dan seterusnya.
- Harta haram yang diambil secara sepihak, dan merugikan pihak lain, tidak saling rida. Seperti harta hasil curian, harta hasil merampas, hasil menipu, dan lain-lain.
Harta haram yang diambil tanpa kerelaan pemilik yang asli, tidak saling ridha, statusnya tetap haram, meskipun berpindah ke tangan orang lain, baik diberikan dalam bentuk hadiah atau hibah. Sebagian ulama menjelaskan dengan dalil sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam;
لاَ تُقْبَلُ صَلاَةٌ بِغَيْرِ طُهُورٍ وَلاَ صَدَقَةٌ مِنْ غُلُولٍ .
“Shalat tidak akan diterima tanpa bersuci, dan tidak pula sedekah hasil korupsi.” [HR. Muslim dari Ibnu Umar]
Ibnu Hajar mengatakan;
دَلَّ قَوْلُهُ لاَ تُقْبَلُ صَدَقَةٌ مِنْ غُلُولٍ أَنَّ الْغَالَّ لاَ تَبْرَأُ ذِمَّتُهُ إِلاَّ بِرَدِّ الْغُلُولِ إِلَى أَصْحَابِهِ بِأَنْ يَتَصَدَّقَ بِهِ إِذَا جَهِلَهُمْ مَثَلاً وَالسَّبَبُ فِيهِ أَنَّهُ مِنْ حَقِّ الْغَانِمِينَ فَلَوْ جُهِلَتْ أَعْيَانُهُمْ لَمْ يَكُنْ لَهُ أَنْ يَتَصَرَّفَ فِيهِ بِالصَّدَقَةِ عَلَى غَيْرِهِمْ.
“Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ‘sedekah tidak diterima karena hasil korupsi’ menunjukkan bahwa orang yang korupsi tidak bisa lepas dari tanggung jawab kecuali dengan mengembalikan harta korupsi itu kepada pemiliknya, bukan dengan mensedekahkannya ketika tidak mengetahui siapa pemiliknya.
Sebabnya adalah bahwa harta itu masih milik al-Ghanimin (pasukan perang yang mendapat ghanimah, pemilik asli), sekalipun pemilik asli tidak diketahui, tidak boleh bagi koruptor untuk manyalurkan uang itu dengan mensedekahkannya kepada orang lain.” (Fath al-Bari: III: 278)
baca juga: Tanya Ustadzmu: Apa Hukum Menikah Beda Agama Dalam Pandangan Islam?
Harta hasil korupsi termasuk jenis harta haram yang diambil tanpa kerelaan pemilik yang asli. Hal ini karena sejatinya harta itu adalah milik rakyat, dan semua orang sepakat tidak ada rakyat yang bersedia hartanya diambil oleh pejabat.Oleh karena itu, sekalipun telah dilakukan money laundry (pencucian uang), atau diserahkan kepada orang lain, harta itu wajib untuk disita dan dikembalikan kepada negara. Bagi penerima yang mengetahui bahwa itu hasil korupsi, dia harus menolaknya.
Wallahu a’lam bish-shawab.
editor: cak iPhin | Sumber: Majalah Suara Muhammadiyah No. 9, 2014 dan di terbitkan pada laman resmi fatwa tarjih Muhammadiyah fatwatarjih.or.id
Discussion about this post